Humanisme di Selatan Global: Perspektif Humanesia dan Atheist in Kenya Society

Pada tanggal 24 Oktober 2024, Humanesia bekerja sama dengan Atheist in Kenya Society mengadakan diskusi daring lewat Zoom dengan topik “Humanisme di Selatan Global: Pengalaman dari Kenya dan Indonesia”. Acara ini merupakan kesempatan berharga untuk berbagi pengalaman dan tantangan yang dihadapi oleh komunitas humanis di kedua negara, serta untuk memperkuat jaringan global humanisme. Berikut ini laporannya.

Pembukaan Acara

Acara dibuka dengan sambutan hangat dari Difa, salah satu pendiri Humanesia, yang menekankan pentingnya dialog antar budaya dalam memahami tantangan yang dihadapi oleh komunitas humanis. Dalam sambutannya, ia menjelaskan bahwa Humanesia adalah organisasi baru yang berkomitmen untuk mempromosikan nilai-nilai humanisme di Indonesia. Pembicara utama dalam acara ini adalah Harrison Mumia, Presiden Atheist in Kenya Society, dan Adam Pantouw dari Humanesia. Keduanya membagikan pengalaman mereka dalam menghadapi tantangan sebagai komunitas non-religius di negara masing-masing.

Tantangan Humanisme di Indonesia

Adam Pantouw menjelaskan situasi humanisme di Indonesia. Humanisme, menurut minimum statement dari Humanists International, adalah:

“Humanism is a democratic and ethical life stance, which affirms that human beings have the right and responsibility to give meaning and shape to their own lives. It stands for the building of a more humane society through an ethic based on human and other natural values in the spirit of reason and free inquiry through human capabilities. It is not theistic, and it does not accept supernatural views of reality.”

Di Indonesia, meskipun konstitusi menjamin kebebasan beragama, terdapat banyak tantangan bagi individu yang mengidentifikasi diri sebagai non-religius. Beberapa poin penting yang disampaikan meliputi:

  • Humanis sekuler di Indonesia: Mayoritas orang Indonesia tercatat sebagai pemeluk agama. Sangat sulit menentukan jumlah orang tidak beragama karena nilai-nilai non-agama sering kali dianggap tabu. Banyak di antara mereka masuk ke grup-grup daring yang keanggotaannya beririsan.
  • Hukum Penistaan Agama: Hukum penistaan agama masih berlaku dan digunakan untuk menuntut individu yang dianggap menghina agama, menciptakan suasana ketakutan bagi mereka yang berani mengungkapkan pandangan non-agama.
  • Stigma Sosial: Ada persepsi bahwa tidak beragama atau ateis identik dengan kekejaman, terutama akibat sejarah kelam tahun 1965 ketika banyak orang dituduh sebagai komunis dan dikaitkan dengan ateisme.
  • Humanisme dalam Pancasila: Meski nilai non-agama seperti humanisme dan sekularisme dianggap tabu, prinsip humanisme sebenarnya sejalan dengan sila kedua, yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”

Pengalaman Atheist in Kenya Society

Harrison Mumia (Atheist in Kenya Society) berbagi tentang perjuangan Atheist in Kenya Society dalam mempromosikan humanisme di Kenya.

Ia menceritakan beberapa poin penting:

  • Keuntungan Berorganisasi: Atheist in Kenya Society telah terdaftar secara resmi sebagai entitas hukum di Kenya sejak tahun 2016, yang memberikan mereka pengakuan dari pemerintah dan masyarakat. Anggota yang bergabung dengan organisasi ini membayar sejumlah biaya kecil, yang kemudian dapat digunakan untuk mendukung kegiatan dan program organisasi. Beberapa keuntungan bagi anggota antara lain bantuan hukum, dukungan finansial jika diperlukan dan akses ke acara-acara yang diselenggarakan oleh organisasi.
  • Perkembangan Komunitas: Mumia menyatakan bahwa ateis dan kelompok non-religius lainnya di Kenya, yang sebelumnya mungkin tersembunyi atau tidak terlihat, kini mulai muncul ke permukaan. Setiap tahunnya ada sekitar 700-2000 anggota baru yang mendaftar ke sebagai anggota Atheist in Kenya Society.
  • Platform Interaksi: Atheist in Kenya Society mengadakan pertemuan bulanan yang disebut “The Godless Corner,” di mana anggota dapat berkumpul, berbagi pendapat, dan merencanakan kegiatan bersama. Selain itu Mumia menyoroti penggunaan media sosial dan grup WhatsApp sebagai alat untuk berinteraksi dan berbagi pengalaman di antara anggota. Ini menciptakan ruang aman bagi individu untuk mengungkapkan pandangan mereka dan terlibat dalam diskusi.
  • Dinamika Komunitas: Meskipun ada tantangan, Mumia mencatat bahwa penolakan terhadap organisasi ateis tidak bersifat langsung. Ia percaya bahwa Kenya adalah negara yang relatif liberal, di mana meskipun ada kritik dari kelompok religius, mereka tidak memiliki kekuatan untuk menghalangi komunitas ini karena dilindungi oleh konstitusi.

Humanisme di Kenya

Baik Kenya maupun Indonesia mengakui adanya Tuhan dalam konstitusi masing-masing. Namun, hal itu tidak mengurangi  perlindungan konstitusi terhadap orang-orang yang tidak beragama di Kenya. Dalam diskusi, Adam Pantouw menyatakan rasa iri terhadap kemajuan pengakuan dan perlindungan bagi komunitas tidak beragama di Kenya. Adam bertanya kepada Mumia apakah Kenya telah mencapai kondisi yang lebih baik dalam hal ini. Mumia menjelaskan bahwa Kenya telah melalui perjuangan panjang untuk mendapatkan hak-hak tersebut, dimulai dari kemerdekaan pada tahun 1963 hingga sempat dipimpin oleh diktator selama 24 tahun. Pada tahun 2010, Kenya akhirnya memiliki konstitusi baru yang lebih progresif. Meskipun ada kemajuan, Mumia juga tak menyangkal bahwa diskriminasi terhadap kelompok marjinal, seperti LGBTQ+, masih terus terjadi.

Mumia menyatakan:

"We are not coming from a place of good to better. We are coming from a place of really bad to a sense of normal."

Dia menyoroti bahwa Kenya bukanlah tempat yang sempurna, tetapi mereka mulai menikmati hak-hak yang lebih baik setelah perjuangan panjang.

Hukum Penistaan Agama di Kenya

Mumia menjelaskan bahwa Kenya memiliki hukum penistaan agama yang tercantum dalam kitab undang-undang hukum pidana, tetapi ia menyebutkan bahwa hukum tersebut dianggap tidak konstitusional. Mumia mencatat bahwa meskipun ada hukum tersebut, beberapa orang seringkali mengkritik atau “menghina” tokoh agama di media sosial tanpa adanya konsekuensi hukum.

Ia menyatakan:

“We have a blasphemy law, but I’ve never seen it being implemented after the 2010 Constitution came into power.”

Ini menunjukkan bahwa meskipun ada hukum tertulis, kenyataannya komunitas non-religius dapat beroperasi dengan relatif bebas di Kenya karena konstitusi ditegakkan.

Definisi Humanisme dan Keberadaan Organisasi

Menjawab pertanyaan dari peserta, Adam menjelaskan bahwa tidak ada cara formal untuk menjadi humanis. Seseorang dapat mengidentifikasi sebagai humanis jika mereka setuju dengan prinsip-prinsip humanisme. Ia menambahkan bahwa saat ini Humanesia adalah satu-satunya organisasi humanis sekuler dari Indonesia yang berafiliasi dengan Humanists International. Humanesia terbuka untuk individu yang memiliki nilai-nilai humanis dan ingin berkelompok.

Mumia juga menjelaskan bahwa Atheist in Kenya Society memilih untuk memakai nama ateis untuk menonjolkan keberadaan mereka di negara yang religius, sekalipun misi sebenarnya adalah untuk mendorong nilai-nilai humanis. Strategi ini memberikan perhatian media positif dan membantu meningkatkan kesadaran tentang isu-isu non-religius.

Tantangan dalam Komunitas Ateis

Mumia mencatat bahwa tidak semua ateis mendukung prinsip-prinsip humanis, dan ada beberapa perbedaan pendapat di antara mereka. Dia menekankan pentingnya rasionalitas dalam diskusi untuk mencapai posisi yang lebih baik berdasarkan nilai-nilai humanis.

"Not all atheists support humanist values... some of them can be very disappointing."

Ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh komunitas humanis dalam memperjuangkan nilai-nilai mereka.

Kesimpulan

Diskusi antara Humanesia dan Atheists in Kenya Society telah menyoroti tantangan unik yang dihadapi oleh komunitas humanis di Indonesia dan Kenya, serta menunjukkan upaya kreatif yang dilakukan untuk mempromosikan nilai-nilai humanis di tengah tekanan sosial dan budaya. Melalui berbagi pengalaman ini, kami berharap dapat membuka pintu untuk kolaborasi yang lebih konkret untuk humanisme di Selatan Global.

Acara ini menegaskan bahwa meskipun Indonesia dan Kenya memiliki konteks sosial-budaya yang berbeda, kita semua diikat oleh tujuan bersama untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan manusiawi. Kita berharap dapat melanjutkan dialog ini dan menjalin kerja sama lebih lanjut di masa depan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *